Jumat, 20 Mei 2011

Peran Guru terhadap Pendidikan karakter di Sekolah

Peran Guru terhadap Pendidikan karakter di Sekolah
Peran Guru terhadap Pendidikan karakter di Sekolah

1. Pendahuluan
Lembaga pendidikan dan guru dewasa ini dihadapkan pada tuntutan yang semakin berat, terutama untuk mempersiapkan peserta didik agar mampu menghadapi berbagai dinamika perubahan yang berkembang dengan sangat cepat. Perubahan yang terjadi tidak hanya berkaitan dengan dinamika perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga menyentuh perubahan dan pergeseran aspek nilai dan moral dalam kehidupan masyarakat. Contoh, dekadensi moral dan karakter buruk yang ditunjukkan siswa sudah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam dunia pendidikan. Kekerasan yang dilakukan pelajar kian memprihatinkan, seperti aksi premanisme yang dilakukan oleh pelajar yang tergabung dalam Geng Nero (Nekoneko dikeroyok), vidio porno yang dilakukan olah pelajar ( jambi ekspres, 24 maret 2011) dan banyak lagi perilaku kekerasan lainnya. Geng Nero barangkali hanya salah satu potret dari sekian banyak geng yang ada di lingkungan masyarakat yang dilakukan oleh pelajar. Kejadian ini mungkin juga pernah dialami oleh sekolah-sekolah lain, namun tidak terekspos media massa. Selain perilaku kekerasan, juga isu-isu moralitas di kalangan remaja, seperti penggunaan narkotika, pornografi, perkosaan, perampasan, dan perusakan milik orang lain sudah menjadi masalah sosial yang hingga saat ini belum dapat diatasi secara tuntas.

Akibat yang ditimbulkan cukup serius dan tidak dapat lagi dianggap sebagai suatu persoalan sederhana karena tindakan-tindakan tersebut telah menjurus kepada tindakan kriminal. Banyak orang berpandangan bahwa kondisi demikian diduga berawal dari apa yang dihasilkan oleh dunia pendidikan. Pendidikanlah yang sesungguhnya paling besar memberikan kontribusi terhadap situasi ini. Dalam konteks pendidikan formal di sekolah, bisa jadi salah satu penyebabnya karena pendidikan di Indonesia lebih menitikberatkan pada pengembangan intelektual semata. Aspek-aspek yang lain yang ada dalam diri siswa, yaitu aspek afektif dan kebajikan moral kurang mendapatkan perhatian. Koesoema (Kompas, 1 Desember 2009) menegaskan bahwa integrasi pendidikan dan pembentukan karakter merupakan titik lemah kebijakan pendidikan nasional. Sekolah dan para guru memegang peran dan tanggungjawab yang lebih besar dalam pembelajaran siswa, tidak hanya ditunjukkan untuk memenuhi harapan agar kinerja siswa berhasil dalam aspek kognitif yang tercermin dari hasil tes dan tingkat kelulusan lebih tinggi dalam ujian nasional (UN), tetapi harus menekankan pada aspek afektif. Dengan kata lain, peningkatan dan penekanan pada aspek kognitif harus diimbangi dengan upaya peningkatan dalam aspek pengembangan afektif siswa atau dalam arti pendidikan karakter dan kebajikan moral juga tidak boleh diabaikan. Keadaan ini nampaknya sudah dipahami dan disadari pemerintah, dalam hal ini oleh Menteri Pendidikan Nasional, Prof. Dr. Muhammad Nuh. Mendiknas menyatakan kerisauan dan kerinduan banyak pihak untuk kembali memperkuat pendidikan karakter dan budaya bangsa. Pemerintah bertekad untuk memperkuat karakter dan budaya bangsa tersebut melalui pendidikan di sekolah (Kompas, 15 Januari, 2010).
Ketika sekolah didirikan, salah satu misi utamanya adalah untuk mengajar kebajikan moral (Mondale & Patton, 2001; Mulkey, 1997). Banyaknya penyimpangan moral di kalangan anak anak dan remaja saat ini menjadikan tugas guru dan perancang bidang pendidikan moral sangat rumit. Menurut Koesoema (2009:14), di tengah perubahan tata nilai dalam masyarakat yang begitu cepat, guru tetap dituntut untuk menjaga integritas dasarnya sebagai pendidik karakter. Artinya, dalam kondisi tersebut guru dituntut dan tetap konsisten dapat menegakkan dan membangun moral dan karakter yang baik bagi para peserta didik. Guru diharapkan untuk mengajar dan mendisiplinkan siswa sehingga dapat menghormati otoritas dan bertanggung jawab dalam menyelesaikan pelajaran. Hingga dewasa ini, tampaknya harapan-harapan ini pada dasarnya tetap tidak berubah. Guru memiliki peran yang sangat besar dan berpengaruh dalam kehidupan peserta didik, oleh karenanya masyarakat masih tetap berharap para guru untuk menampilkan perilaku yang mencerminkan nilai-nilai moral, seperti keadilan, kejujuran, dan mematuhi kode etik profesional. Sebuah kebajikan sosial dihargai secara sosial, sementara kebajikan moral, seperti kejujuran, dihargai secara moral. Menurut Lickona (1991), sekolah dan guru harus mendidik karakter, khususnya melalui pengajaran yang dapat mengembangkan rasa hormat dan tanggung jawab.
Peran Guru sebagai Model dalam Pembelajaran Karakter dan Kebajikan Moral. Dalam tugasnya sebagai pendidik dan pengajar, guru berinteraksi dengan siswa, sangat penting bagi para guru untuk melayani dan berperan sebagai model pengembang karakter dengan membuat penilaian dan keputusan profesional yang didasarkanpada kebajikan sosial dan moral. Koesoema (2009:134) menegaskan bahwa terlepas dari berbagai macam posisi yang disandangnya, sadar atau tidak, perilaku dan tindakan guru dalam melaksanakan tugas-tugasnya merupakan wahana utama untuk pembelajaran karakter.
Seseorang yang berkarakter memiliki kebijaksanaan untuk mengetahui dan membedakan mana yang benar dan mana yang salah; jujur, dapat dipercaya, adil, hormat, dan bertanggung jawab; mengakui dan belajar dari kesalahan; dan berkomitmen untuk hidup menurut prinsip-prinsip ini. Lickona (1991) menunjukkan bahwa karakter adalah penjelasan fenomena universal dari orang-orang yang memiliki keberanian dan keyakinan untuk hidup dengan kebajikan moral. Karakter mencakup berbuat sesuatu menjadi lebih baik dan melakukan yang benar, sementara perilaku tidak etis merupakan antitesis karakter. Setiap kali siswa terjebak dalam permainan emosi, seperti melukai orang lain atau berperilaku curang untuk menang dalam suatu lomba atau pertandingan, tidak akan menjadi baik atau melakukan hal yang tidak benar. Demikian pula, jika siswa menyontek pada saat ujian atau menjiplak tulisan dari koran untuk mendapatkan nilai yang lebih baik, pada hakikatnya tidak memiliki karakter dan dasar moral yang esensial. Kajian-kajian ilmiah tentang perikalu tidak terpuji (amoral) yang dilakukan siswa dalam dunia pendidikan di Indonesia sangat terbatas. Namun, di negara-negara maju seperti di Amerika sudah sangat berkembang, survei nasional yang dilakukan oleh The Ethics of American Youth, dari Josephson Institute of Ethics (2006), diketahui bahwa perilaku siswa dalam jangka waktu 12 bulan, yaitu (a) 82% mengakui bahwa mereka berbohong kepada orangtua; (b) 62% mengakui bahwa mereka berbohong kepada seorang guru tentang sesuatu yang signifikan; (c) 33% menjiplak tugas dari internet; (d) 60% menipu selama pelaksanaan ujian di sekolah; (e) 23% mencuri sesuatu dari orang tua atau kerabat lainnya; (e) 19% mencuri sesuatu dari seorang teman, dan (f) 28% mencuri sesuatu dari toko.
Erosi karakter dan perilaku tidak terpuji yang menerpa siswa sebagaimana tersebut di atas merupakan gejala umum yang berlaku di mana-mana, termasuk di Indonesia. Sudah cukup banyak contoh dan perilaku tidak jujur yang dilakukan individu dalam dunia pendidikan, mulai dari siswa yang mencontek, menjiplak hasil karya orang lain tanpa menyertakan sumber, mencari- cari alasan untuk lari dari tanggung jawab atas tugas-tugas sekolah yang diberikan oleh guru (Koesoema, 2009:183). Kondisi ini menegaskan bahwa para guru yang mengajar mata pelajaran apa pun harus memiliki perhatian dan menekankan pentingnya pendidikan moral dan karakter pada para siswa. Namun di sisi lain perilaku tidak etis yang ditunjukkan oleh siswa tersebut bertolak belakang dengan tanggapannya yang mengakui dan percaya bahwa karakter itu penting. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (a) 98% berkata, "Sangat penting bagi saya untuk menjadi orang dengan karakter yang baik"; (b) 98% berkata, "Kejujuran dan kepercayaan sangat penting dalam hubungan pribadi"; (c) 97% berkata, "Ini penting bagi saya bahwa orang percaya padaku"; (d) 83% berkata, "Ini tidak layak untuk berbohong atau menipu karena bertentangan dengan karakter". Dalam laporan tersebut juga disimpulkan bahwa semakin meluas dan mendalam perilaku kontradiktif yang terjadi mencerminkan sikap sinis siswa itu sendiri dalam proses rasionalisasi dengan cara mengabaikan kebenaran penilaian etika dan perilaku yang dinyatakan bertentangan dengan keyakinan moral (Josephson Institute of Ethics, 2006). Siswa menyatakan bahwa karakter itu penting, tetapi di sisi lain berbohong, menipu, dan mencuri. Tulisan ini ingin mencoba mengkaji bahwa model perilaku berbudi luhur disekolah.
Berdasarkan uraian tentang latar belakang permasalahan tersebut di atas, maka permasalahan yang dapat dirumuskan sebagai berikut: Bagaimana peran guru dalam pendidikan karakter bangsa disekolah ?
Tujuan penulisan karya ilmiah ini adalah memberikan pemahaman tentang peran guru terhadap pendidikan karakter bangsa di sekolah.
Adapun manfaatnya adalah :
1. Bagi sekolah, sebagai bahan masukan kepada kepala sekolah dan instansi pendidikan untuk lebih memperhatikan permasalahan-permasalahan akhlak dan budi pekerti siswa sehingga dalam perkembangan anak tersebut mampu menghadapinya dan menyelesaikannya sesuai yang diharapkan.
2. Bagi penulis, penelitian ini sebagai sarana untuk menerapkan kebenaran teori-teori yang ada dengan keadaan yang lebih nyata.
3. Bagi siswa, sebagai bahan masukan dan renungan bagi siswa untuk mengintrospeksi diri terhadap masalah yang dihadapinya, sehingga mampu menyelesaikan kesulitannya sendiri dan sanggup menghadapi tantangan hidup dan kehidupan yang semakin berat dan sangat komplek. 

saduran dari artikel....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar